"Sosok Susi Pudjiastuti bukan orang baru dalam pengembangan potensi kelautan dan perikanan, berasal dari daerah nelayan Pangandaran ia tahu betul potensi kelautan. Seperti beberapa menteri dari kalangan profesional lainnya dia problem solving," kata Antar Venus ketika dihubungi Antara dari Bandung, Minggu (26/10).
Perempuan asal Pangandaran, Jawa Barat, ini menggantikan posisi Sharif Cicip Sutarjo pada Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II di bawah kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono 2009-2014.
Menurut Antar Venus, Susi merupakan sosok pelaku usaha sektor kelautan dan perikanan serta pengusaha penerbangan perintis, di sejumlah daerah di Indonesia khususnya di Indonesia Timur.
Selain itu, menurut dia, sosok wanita kelahiran Pangandaran, 15 Januari 1965 tersebut memiliki komitmen kuat dalam pengembangan kelautan dan perikanan. Ia juga memiliki kepedulian yang tinggi terhadap lingkungan hidup.
Dalam beberapa kiatnya, sosok Susi merupakan sosok yang memiliki komitmen kepada perubahan sehingga bisa memberi warna bahkan terobosan di kementerian yang dipimpinnya itu.
Harapan yang sama juga disampaikan oleh tokoh Jabar dan Ketua DPW Partai Nasdem Jabar, Eka Santosa yang menyebutkan sosok Susi Pudjiastuti merupakan sosok yang memiliki komitmen kuat terhadap sektor kelautan dan perikanan.
"Ia berkiprah mengembangkan sektor perikanan dan kelautan dari Pangandaran ke tingkat nasional. Saya kenal ia sosok yang punya komitmen," kata Eka Santosa.
Sebelumnya pada Kamis, (23/10), Susi dipanggil Presiden Joko Widodo ke Istana Negara, tetapi saat itu Susi tidak memberikan alasan yang jelas atas pemanggilan dirinya tersebut.
Susi Pudjiastuti yang bersuamikan Christian von Strombeck, seorang pria berkewarganegaraan Jerman, sebelumnya sudah malang melintang di dunia wirausaha, namun belum sekalipun terlibat dalam kegiatan politik.
Dia sempat menjabat "Board of Directors" HNSI (Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia) bidang hubungan dalam negeri dan Ketua Komisi Pengembangan Usaha Kecil dan Menengah di Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN).
Perlu diketahui Susi Pudjiastuti adalah pengusaha pemilik dan Presdir PT ASI Pudjiastuti Marine Product, eksportir hasil-hasil perikanan dan PT ASI Pudjiastuti Aviation atau penerbangan Susi Air dari Jawa Barat. Hingga awal tahun 2012, Susi Air mengoperasikan 50 pesawat dengan berbagai tipe seperti 32 Cessna Grand Caravan, 9 Pilatus PC-6 Porter dan 3 Piaggio P180 Avanti. Susi Air mempekerjakan 180 pilot, dengan 175 di antaranya merupakan pilot asing. Tahun 2012 Susi Air menerima pendapatan Rp300 miliar dan melayani 200 penerbangan perintis.
Kisah Rintisan Usaha Susi Pudjiastuti.
Jauh sebelum dikenal publik sebagai menteri, Susi Pudjiastuti sudah cukup dikenal di kalangan pengusaha UKM. Dia sering diundang untuk memberikan sharing, berbagi pengalaman sukses mengembangkan bisnis, antara lain, dihadapan komunitas bisnis Tangan Di Atas (TDA).
Ayah dan ibunya Susi Pudjiastuti yaitu Haji Ahmad Karlan dan Hajjah Suwuh Lasminah berasal dari Jawa Tengah yang sudah lima generasi lahir dan hidup di Pangandaran. Keluarganya adalah saudagar sapi dan kerbau, yang membawa ratusan ternak dari Jawa Tengah untuk diperdagangkan di Jawa Barat. Kakek buyutnya Haji Ireng dikenal sebagai tuan tanah. Susi hanya memiliki ijazah SMP. Setamat SMP ia sempat melanjutkan pendidikan ke SMA. Namun, di kelas II SMAN Yogyakarta dia berhenti sekolah.
Susi Pudjiastuti memutuskan untuk berhenti sekolah pada kelas 2 SMA di Jogyakarta. Tentu saja keputusan itu ditentang orang tuanya. "Gara-gara berhenti sekolah, bapak saya sempat satu tahun tidak ngomong dengan saya. Walaupun tinggal satu rumah," ujar Susi yang menguasai bahasa Inggris dengan baik. Mengolah dan memasarkan hasil laut sudah menjadi santapan sehari-hari Susi sejak drop out dari sekolah kelas II SMA. Saat itu, berbekal ijazah SMP, Susi tetap ingin hidup mandiri tanpa nebeng orangtua.
Susi memulai bisnisnya dengan berdagang bed cover keliling di Pangandaran dengan modal Rp 750.000 dan kini pengusaha tangguh ini telah menikmati kesuksesannya lewat kerajaan bisnis perikanan dan penerbangan yang diperkirakan telah mencapai omset puluhan juta dollar AS. Kerja keras pun dilakoni Susi."Awalnya coba-coba jual baju tapi gak laku-laku, terus jualan bed cover, pernah juga jual cengkeh. Tiap hari, keliling naik motor keliling dagangan tapi tetep aja ekonomi seret," kenangnya.
Susi beruntung tinggal di lingkungan keluarga yang sangat demokratis. Bahkan sejak kecil, dia dibebaskan untuk membaca buku-buku tentang apa saja, mulai dari buku-buku tentang tokoh-tokoh terkenal, demokrasi hingga filsafat. "Semua bacaan itu membuka wawasan saya," ujar Susi. Tidak heran, bila sejak remaja Susi terbiasa untuk bersikap independen; mandiri; bertanggungjawab serta bekerja keras. Sikap-sikap positif itulah yang membantunya dalam mengembangkan bisnisnya di bidang perikanan dan penerbangan. Nyatanya, Susi tidak pernah takut untuk memulai bisnis baru dan tidak pernah patah semangat bila menghadapi kegagalan serta selalu memperbaiki diri untuk mencapai kesuksesan.
Hingga, dia menyadari bahwa potensi Pangandaran adalah di bidang perikanan. Sebab setiap hari dia melihat ratusan nelayan membawa ikan ke pantai. Karena tidak memiliki uang, dia terpaksa menjual kalung serta cincin miliknya seharga Rp 750 ribu untuk modal membeli ikan.
"Hari pertama aku jualan 1 kilo ikan, dibeli restoran milik teman. Dari situ modalnya kuputar sampai sekarang," ungkapnya. Dari hanya menjual 1 kilogram, dagangan Susi terus bertambah menjadi 1 truk lobster karena harus memenuhi permintaan restoran-restoran di Jakarta. Dari mulai menyewa truk sampai akhirnya memiliki truk sendiri. Setiap hari Susi berangkat pukul tiga sore dari Pangandaran dan sampai di Jakarta tengah malam."Turunkan dagangan terus langsung balik ke Pangandaran. Kadang saya yang nyopir kalau sopir truknya ngantuk," kenangnya.
Wanita pengagum tokoh Semar dalam dunia pewayangan itu menyatakan sudah tiga kali menikah.
Suaminya yang terakhir, Christian von Strombeck merupakan seorang mekanik pesawat asal Perancis. Dari pria itu Susi mendapat ide untuk menggunakan pesawat untuk mengirim lobster ke Jakarta."Kalau pakai truk biasanya separo lobster mati, tapi sejak pakai pesawat bisa hidup semua. Harga lebih tinggi karena fresh," tandasnya.
Kalau bicara soal ekspor perikanan berarti Susi harus mengupayakan agar dia dapat menjual ikan-ikannya dalam keadaan hidup; segar. Bayangkan, udang lobster kalau dalam keadaan hidup bisa dijual Rp 400 ribu/kg; tapi kalau dalam keadaan mati hanya Rp 100.000/kg.
"Tapi tantangannya berat. Yakni, bagaimana mengupayakan agar udang itu bisa sampai ke tangan pembeli dalam waktu 24 jam sejak penangkapan. Sedangkan infrastrukturnya di Indonesia masih belum memadai. Dari Pangadaran ke Jakarta saja menghabiskan waktu sekitar 12 jam. Dalam perjalanan itu, 10 sampai 25 persen udangnya mati. Kalau mati harga udangnya menjadi murah. Kalau udang mati, busuk, malah tidak bisa dijual. Di sinilah perlu terobosan," ujar Susi.
Menurut Susi, terobosan yang dimaksud dia harus punya pesawat sendiri. Pesawat kecil yang bisa landing di bandara lapangan rumput dan bisa menjemput ke tempat-tempat nelayan sehingga bisa mengurangi angka kematian udang serta dapat memenuhi tuntutan standar mutu produk yang diminta pembeli di luar negeri.
"Setelah keliling ke bank-bank, baru pada tahun keempat ada bankir yang percaya dan mau membiayai pembelian pesawat untuk mengangkut udang dan ikan-ikan lainnya. Saya dapat kredit 4,7 juta dollar AS untuk membeli dua pesawat kecil. Syukur dalam waktu tujuh tahun kredit tersebut dapat dilunasi,"ujar Susi.
Pesawat itu dibeli dari uang pinjaman bank. Bukan perkara mudah untuk mendapatkan dana itu. Puluhan bank menertawainya karena tidak semua percaya hasil penjualan ikan bisa untuk membayar cicilan. Padahal waktu itu Susi telah memiliki pabrik pengolahan ikan serta sebuah restoran yang paling terkenal di Pangandaran, The Hilmans."Kita dianggap gila waktu masukin business plan ke bank tahun 2000," sambungnya.
Sampai akhirnya Bank Mandiri mau memberi pinjaman sebesar USD 4,7 juta untuk bangun landasan dan beli dua pesawat, Cessna dan Grand Caravan. Pada 2004, Susi memutuskan membeli sebuah Cessna Caravan seharga Rp20 miliar menggunakan pinjaman bank. Melalui PT ASI Pudjiastuti Aviation yang ia dirikan kemudian, satu-satunya pesawat yang ia miliki itu ia gunakan untuk mengangkut lobster dan ikan segar tangkapan nelayan di berbagai pantai di Indonesia ke pasar Jakarta dan Jepang. Call sign yang digunakan Cessna itu adalah Susi Air.
Namun, baru sebulan dipakai, terjadi bencana tsunami di Aceh. "Tanggal 27 kami berangkatkan satu pesawat untuk membantu. Pesawat kami yang pertama bisa mendarat di Meulaboh. Tanggal 28 kami masuk satu lagi. Kami bawa beras, mi instan, air dan tenda-tenda," ungkapnya.
Awalnya, Susi berniat membantu distribusi bahan pokok secara gratis selama dua minggu saja. Tapi, ketika hendak balik, banyak lembaga non-pemerintah yang memintanya tetap berpartisipasi dalam recovery di Aceh.
"Mereka mau bayar sewa pesawat kami. Satu setengah tahun kami kerja di sana. Dari situ, Susi Air bisa beli satu pesawat lagi. Setelah itu keterusan sewa-sewain, beli pesawat lagi sampai bisa punya 50 pesawat," jelasnya.
Selain bekerja keras, Susi juga bekerja cerdas. Dia selalu mencari terobosan bisnis agar nilai tambah bisnisnya terus meningkat. Pada tahun 1985, Susi mengambil keputusan penting dalam hidupnya, yakni, pindah ke Cirebon. Dia pindah ke kota udang itu mengembangkan bisnis ikannya yang dirintisnya di Pangandaran. Dia pindah hanya membawa anak dan pembantunya, tanpa suami. Alasannya, untuk urusan bisnis dia tidak mau ada dua nakhoda dalam satu perahu.
"Di Cirebon saya memulai sesuatu yang baru. Saya beli udang dan kodok, lalu dijual ke Tanjung Priok. Udang dan kodok itu dibawa dengan truk dan saya ikut dalam truk tersebut. Begitulah kehidupan saya setiap hari. Tapi, saya menjalani dengan enjoy saja," ujar Susi.
Berkat kerja kerasnya, usaha perikanan Susi terus berkembang. Dia merambah sampai ke Sumatera untuk mendapatkan pasokan udang lebih banyak dan lebih baik. Bisnisnya terus berkembang, dan pada 1996 Susi mendirikan pabrik pengolahan ikan PT ASI Pudjiastuti Marine Product dengan produk unggulan berupa lobster dengan merek “Susi Brand”.
Dari segi pemasaran, dia mulai merambah pasar ekspor dengan berkaloborasi dengan pengusaha Jepang. "Saya dapat L/C pertama untuk ekspor ke Jepang pada bulan Mei 1996 lalu, senilai 270 ribu dollar AS," ujar Susi.
Susi Pudjiastuti, Srikandi Srikandi Dalam Menteri Kabinet Kerja Joko Widodo.
"one kilometres runaway bring you to the world, and the world to you"
Susi Pudjiastuti
Mungkin kegigihan, semangat pantang menyerah serta keberanian melakukan terobosan bisnis itulah yang menggoda Presiden Jokowi untuk mempercayai Susi Pudjiastuti menjadi Menteri Kelautan dan Perikanan.
Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menyempatkan diri untuk memperkenalkan filosofi hidupnya kepada jajaran direktorat jenderal dan kepala bagian di kementerian di sela rapat koordinasi, Selasa (28/10/2014). Apa folosofi Susi tersebut?
"Tadi saya sempat perkenalkan filosofi saya di perusahaan yang saya pimpin sebelumnya, 'one kilometres runaway bring you to the world, and the world to you'," ujar Susi kepada wartawan, Selasa pagi.
Terjemahan bebas filosofi sang menteri yakni berlari satu kilometer membawamu kepada dunia dan dunia akan datang kepadamu. Meski, Susi lebih senang diartikan, berlarilah, maka segalanya akan mudah bagimu.
Filosofinya tersebut, diyakini Susi, relevan dengan persoalan di bidang kelautan dan perikanan Indonesia saat ini. Ruang gerak produk kelautan Indonesia kerap dihambat oleh minimnya infrastruktur penunjang distribusi.
Alhasil, perekonomian nelayan tak kunjung naik, bahkan cenderung menurun. Dia menyontohkan distribusi lobster di Pulau Simeulue, Aceh ke Medan, Sumatera Utara. Dengan jalur laut, waktu yang ditempuh bisa satu malam.
Begitu juga dengan jalur darat yang ditempuh dengan waktu 9 jam. Yang terjadi, lobster banyak mati di jalan dan terpaksa dibuang. "Tapi dengan adanya bandara di Simeulue, kita tarik langsung ke Medan langsung satu jam saja. Ini yang benar," ujar dia.
"Kita mendorong supaya pemerintah daerah itu berinvestasi bangun bandara yang mana bisa membuka (jalur distribusi) menjadi cepat. Bandara itu enggak harus Rp 20 miliar atau Rp 30 miliar, cukup rumput saja," lanjut dia.